Hukum Mengkafirkan Sesama Muslim

dalam persoalan mengkafirkan sesama muslim, dulu memang saya tidak terpikirkan soal dalil "kembali kepada orang yang mengatakannya". Kasus saya tenta

Hukum Mengkafirkan Sesama Muslim

 Hukum Mengkafirkan Sesama Muslim

Assalamuālaikum.

Langsung saja kepada kedua pertanyaaannya:

1. Kepada ustadz yang saya hormati, dalam persoalan mengkafirkan sesama muslim, dulu memang saya tidak terpikirkan soal dalil "kembali kepada orang yang mengatakannya". Kasus saya tentang pengucapan kata kafir ke sesama muslim. Jadi, ada teman saya yang secara terang-terangan mengingkari atau menolak akidah sifat 20. Dia bilangnya mengingkari. Dia sering bertanya begini kepada saya: "kalau saya mengingkari sifat 20 apakah kafir?" Kemudian dia melanjutkan mengatakan bahwa dia mengingkari sifat 20. Kemudian saya mengatakan: "kalau orang yang mengingkari sifat 20, maka dia kafir". Dia sendiri yang mengingkari. [1]

Menurut jawaban ustadz ini tidak berakibat kufur:
"Tidak jatuh kufur. karena ada pendapat yang menyatakan demikian dalam sebagian kitab ulama Asy'ariyah. Namun Imam Asy'ari sendiri mengingatkan agar tidak mengkafirkan sesama muslim."
Tapi menurut situs alkhoirot.org lain menyatakan dalam Kitab Terjemah Sullamut Taufiq ila Mahabbatillah alat Tahqiq menyatakan bahwa penyebab kufur lewat lisan dengan Memanggil Seorang Muslim dengan kata-kata : "Hai orang kafir !!, "Hai orang yahudi !! , "Hai orang nasrani !! Hai orang tak beragama !! dengan tujuan tersebut.

Menurut Ustadz Abdul Shomad dan Buya Yahya (Aswaja) mengatakan jatuh kafir bagi orang yang menuduh kafir. Kenapa mereka kompak. Sedangkan pendapat ustadz sendiri tidak sependapat dengan mereka. Maaf ustadz saya kebingungan. Mengapa tidak sama?

Menurut penjelasan Syeikh Qardawi pun dalam situs rumahfiqih.com menuduh seorang muslim sebagai kafir, hukumnya amat berbahaya dan akibat yang akan ditimbulkannya lebih berbahaya lagi. Di antaranya ialah:
Bagi isterinya, dilarang berdiam bersama suaminya yang kafir, dan mereka harus dipisahkan. Seorang wanita Muslimat tidak sah menjadi isteri orang kafir.

Dan ini makin membuat saya jadi ngedown. Sakit hati, hilang semangat. Saya betul-betul mencintai istri saya yang shalihah ya ustadz.

Hampir rata-rata di internet dan di YouTube baik itu referensi Aswaja, sulit diketemukan penjelasan dari dalil 'berbalik kepada orang yang menuduh'. Adapun ada, itupun saya kurang puas dengan penjelasannya. Termasuk ketika saya mencari penjelasan terjemah Ibnu Hajar Al-Asqolani dalam Fathul Bari, hlm. 10/466 dan penyataan Ibnu Abdil Bar dalam Al-Istidzkar, hlm. 8/548, menurut ustadz-ustadz Aswaja serperti UAS, Buya Yahya, Buya Arrazy, dan lain-lain itu tidak diketemukan oleh saya. Saya pun tidak bisa baca kitab gundulnya, cara memahami halamannya pun saya tak bisa, jilid-jilidnya pun saya tak punya, dan lain-lain. Apakah dari argumen atas sampai bawah berakibat jatuh murtad?

2. Kalau tidak salah, kemungkinan besar saya pernah menceritakan bahwa saya pernah menuduh kafir yang di maksud di atas, atau mungkin dulu itu saya hanya minta pendapat kepada istri mengenai tuduhan mengkafirkan saja, dan respon istri tegas saat itu bahwasannya jangan suka mengkafir-kafirkan orang. Sampai saat ini saya kefikiran, takutnya saya pernah mengaku murtad kepada istri atau itu hanya bisikan saja, dan saya juga takutnya saya pernah bercerita menuduh kafir kepada teman saya yang dimaksud. Apakah hal ini berakibat jatuh murtad?

Wassalamuālaikum.

JAWABAN

1. Pertama, perlu diketahui bahwa pandangan ulama terkait syariah Islam (hukum maupun akidah) secara  garis besar terbagi dua: ada yg ijmak (terjadi kesepakatan) ada yg ikhtilaf (terjadi perbedaan). Mayoritas terjadi ikhtilaf. Yg ijmak contohnya: wajibnya shalat 5 waktu dan puasa Ramadan, haramnya zina dan mencuri; wajibnya meyakini keesaan Allah, dll; yg ikhtilaf contohnya adalah rincian detail terkait hal-hal yang tersebut di atas.

Dalam masalah ikhtilaf, selagi seorang muslim mengikuti salah satu pendapat dari para ulama mu'tabar (kompeten), maka itu dibolehkan. Atau, perbuatan yang dia lakukan murtad menurut satu pendapat, tapi tidak murtad menurut yang lain, maka kita dianjurkan untuk menghukumi dengan pendapat yg lebih ringan. Ini esensi dari firman Allah dalam QS al-Baqarah 2:185 bahwa "Allah menghendaki kalian itu kemudahan, bukan kesulitan." 

Baca detail: Toleran pada perbedaan

Ini sekaligus jawaban pada kebingungan anda atas adanya perbedaan pendapat terhadap suatu hukum.

Khusus untuk soal mengafirkan sesama muslim, Baca detail: Hukum Mengkafirkan Sesama Muslim

2. Seperti dijelaskan di jawaban #1, selagi ada pendapat yang menyatakan bahwa menuduh kafir itu tidak berdampak kafir, maka pendapat itu bisa diikuti. Apalagi pendapat yang menyatakan tidak kafir itu lebih kuat dari segi dalil pendukung dari Quran dan Sunnah.

SARAN

Ke depannya, hindari menghukumi orang lain ataupun diri sendiri dengan hukum yang berat. Kendatipun ada pandangan ulama yang dianut. Ambil pendapat ulama yang lebih ringan. Mengikuti pendapat ulama yang lebih ringaan atas suatu kasus itu justru mengikuti perintah Allah (QS al-Baqarah 2:185) dan Rasulnya.

LihatTutupKomentar